Masih adakah rasa kemanusiaan di hati makhluk yang katanya memiliki akal? Ditengah ricuhnya dunia yang terjangkit corona, Sang Maha Kuasa selalu mengirimkan makhluk-Nya yang masih berhati nurani diantara mereka yang hilang empati.

Menilik beberapa bulan lalu saat pemerintah China menetapkan status lockdown di Kota Wuhan Provinsi Hubei. Malam hari diiringi dengan lampu senter smartphone masing-masing para penduduk berteriak ” Wuhan jiayo “ yang artinya semangat Wuhan, Wuhan pasti bisa. Rasa panik dan ketakutan tentu masih terpatri dalam hati, tetapi satu sama lain berusaha tampak saling menyemangati, menanamkan optimisme bahwa semua akan baik-baik saja.

Terbang ke benua biru di negara tempat judul tulisan ini dipilih. Wilayah Lombardia, daerah di utara Italia tempat pertama kali kasus Covid-19 ditemukan di Negeri Valentino Rossi ini. Tempat yang sama pada 161 tahun silam Perang Solferino meletus. Perang yang menggugah hati seorang pengusaha berkebangsaan Swiss yang kebetulan sedang melakukan perjalanan menemui Kaisar Napoleon lll. Sang pengusaha yang memiliki kepentingan membahas bisnis mendadak lupa akan tujuan awalnya saat melihat ribuan mayat tumpang tindih dengan mereka yang terluka tanpa pertolongan. Dialah sang pengusaha yang kelak dikenal sebagai pendiri organisasi kemanusiaan. Henry Dunant. Bapak Palang Merah Dunia.

Entah permainan takdir apa yang sedang ditunjukkan oleh semesta. Satu setengah abad berlalu, Italia yang penuh romansa berubah menjadi kota sunyi karena pandemi. Pemerintah menetapkan lockdown, Serie-A yang setiap musimnya selalu menarik banyak turis terpaksa harus dihentikan disusul para pemainnya yang terinfeksi corona. Di tengah cemasnya keadaan, warga Italia saling memberi dukungan dengan berdiri di balkon rumahnya selama masa karantina, mereka bernyanyi dengan iringan musik khas Negeri Pizza. Menyemangati antara satu dengan yang lain, bahkan lagu Una Volta Ancora dari Fred de Palma feat Ana Mena tak luput mereka bawakan. Jauh di lubuk hati, pastilah mereka teriris melihat negerinya menduduki salah satu yang teratas jumlah korban meninggal akibat Covid-19. Tetapi itu tidak menjadikan alasan untuk kehilangan optimis dan rasa kemanusiaan kepada sesama.

Bergeser ke negara tempat lahirnya berbagai ilmu teknologi hebat, Jerman. Di tengah resahnya corona yang mengambil nyawa ratusan rakyatnya, ternyata masih ditemukan hal mulia yang selayaknya dijadikan pedoman. Masyarakat yang mampu memberikan bantuan mereka berupa sekantong makanan dan kebutuhan lainnya dengan cara menggabungkan kantong itu di pagar pinggir jalanan Jerman, mereka membantu para tunawisma agar tak kelaparan selama keadaan mencekam. Semua dilakukan atas dasar kemanusiaan alih-alih melakukan panic buying. Tak hanya masyarakatnya, solidaritas juga ditunjukkan oleh para klub papan atas Bundesliga (liga sepakbola tertinggi di Jerman). Mereka yang kuat secara finansial menyumbangkan dana untuk klub lainnya yang mengalami krisis keuangan akibat pandemi. “Di masa sulit seperti ini, penting bagi mereka yang lebih kuat membantu yang lebih lemah. Dengan ini kami juga ingin menunjukkan kalau sepakbola berdiri bersama saat ini,” ujar CEO Bayern Munchen Karl Heinz Rummenigge dilansir dari situs resmi klubnya.

Menyebrang ke tanah Britania, makhluk berukuran 150 nanometer benar-benar menyerang siapa saja tanpa memandang status sosial, dari kalangan masyarakat biasa, penggiat olahraga, pemerintahan, sampai keluarga kerajaan. Kota-kota menerapkan lockdown, gemerlap mewahnya kompetisi Premier League yang hampir mencapai akhir musim harus dihentikan demi keselamatan bersama. Pemerintah membantu untuk membayar gaji para pekerja selama mereka dirumahkan. Sedangkan klub besar Premier League beramai-ramai menanggung beban keuangan mereka untuk para staffnya dari kas pribadi klub. Dana yang seharusnya dari pemerintah dialihkan untuk membantu masyarakat menengah yang lebih membutuhkan. Seakan tak mau berdiam diri, banyak para pemain juga ikut memangkas gaji mereka untuk disumbangkan kepada tenaga medis yang berjuang di garda terdepan penanganan kasus ini.

Kembali ke negeri kita tercinta yang kini sedang berjuang memerangi pandemi, dibalik oknum yang dengan tega melakukan tindakan tidak manusiawi seperti mengusir tenaga medis sampai penolakan jenazah Covid-19, masih banyak saudara kita yang berhati nurani membantu tenaga kesehatan dengan berbagai cara, seperti menyalurkan bantuan makanan atau APD. Dibalik maraknya perlakuan orang yang memandang rendah para pasien Covid-19, banyak masyarakat yang tetap menyemangati dan menyambut hangat mereka yang baru sembuh dari corona. Banyak musisi tanah air yang menggelar konser secara online untuk membantu mereka yang terdampak, banyak para tokoh berpengaruh sampai masyarakat biasa yang turut berpartisipasi dalam penggalangan dana menanggulangi bencana negeri ini. Para publik figur yang biasa hidup bergelimang kemewahan juga turun tangan membantu para pelaku usaha kecil supaya usaha mereka tetap hidup, dengan kekuatan pengikut di sosial media, para artis beramai-ramai melakukan promosi bagi UKM tanpa memungut biaya apapun.

Storia Di Un Grande Amore, kalimat sederhana dalam bahasa Italia yang memiliki arti “Sebuah Cerita Kisah Cinta yang Besar.” Cerita cinta berbagai kebaikan seharusnya lebih sering disebarkan kepada sekitar dalam keadaan dunia yang terguncang karena corona seperti saat ini. Kita semua sebagai makhluk Tuhan yang diberi akal pikiran sudah semestinya membantu sesama dengan apa yang kita bisa, bukan menebar kepanikan dan stigma yang menimbulkan keresahan.

Penulis: Yunita Devika Damayanti